TULISAN2_SS_AHDE

11:00 PM 0 Comments

SUKU KAILI DAN HUKUM ADATNYA



Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.

Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To" yaitu To Kaili.

Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut.

Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu, Bangga.

Suku Kalili atau etnik Kaili, merupakan salah satu etnik dengan yang memiliki rumpun etnik sendiri. untuk penyebutannya, suku Kaili disebut etnik kaili, sementara rumpun suku kaili lebih dari 30 rumpun suku, seperti, rumpun kaili rai, rumpun kaili ledo, rumpun kaili ija, rumpun kaili moma, rumpun kaili da'a, rumpun kaili unde, rumpun kaili inde, rumpun kaili tara, rumpun kaili bare'e, rumpun kaili doi, rumpun kaili torai, dll.


Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat.

Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara kematian (no-Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan mantera-mantera yang mengandung animisme.

Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam.

Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain : Kakula (disebut juga gulintang,sejenis gamelan pentatonis),Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo(gong), suli (suling).

Salahsatu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita didaerah Wani,Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe tetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe inipun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam,seperti warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).

Didaerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.

Sebelum masuknya agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan (Buke/Buriro)dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah Kaili, setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal dari Minangkabau bernama Syekh Abdullah Raqie. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah Kaili, Syekh Abdullah Raqie dikenal dengan nama Dato Karama/Datuk Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat sering melihat kemampuan dia yang berada di luar kemampuan manusia pada umumnya. Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang di bawah pengawasan Pemerinta Daerah.

Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat tampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong).



Bentuk-bentuk Pelanggaran dan Sanksi Adat

Pada dasarnya suatu suku bangsa, baik suku-suku bangsa yang terpencil hidup di pedalaman, pegunungan, di lembah maupun pesisir pantai meyakini setiap kesalahan dan pelanggaran harus ada ganjaran/hukuman/sanksinya. Oleh karena itu maka suku Kaili Topo Ledo/Rai/Tara/Doi/Unde menetapkan ada mpegivu (sanksi/hukuman) sebagai berikut : Sala Kana (sikap) , Sala Baba/Sala Mpale (perilaku), Sala Mbivi (bicara).

Jenis Perbuatan :

A.      Vaya Mbaso Nakaputu Tambolo (Hukuman Berat) :
1)      Vaya Nosimpogau (Hukuman untuk Berzina) antara bapak dan anak kandung atau ibu dan      anak kandungnya, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup (dibakar atau dikucilkan seumur hidup oleh Masyarakat)
2)      Vaya berzina antara kakak dengan adik kandungnya, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup
3)      Vaya berzina antara mertua dengan menantu dan nenek dengan cucu, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup
4)      Vaya berzina antara bibi (tante) atau paman saudara kandung dari bapak atau ibu, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup
5)      Vaya berzina antara ipar dari saudara kandung dengan suami atau istri, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup
6)      Vaya berzina dengan permaisuri atau putri Raja (Magau/Madika), niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup

B.      Vaya Mbaso Bangu Mate (Hukuman mati):
1)      Nobualo adalah perzinahan seorang perempuan yang mempunyai suami yang sah dengan seorang lelaki lain (atas keinginan/godaan perempuan). Givuna (hukuman) dikenakan pada perempuan berupa (bualo), terdiri dari Nebualosi  Bualo Kana (pelaku diketahui) dan Bualo Lombe (atau nisiri yaitu masih dalam kecurigaan siapa pelakunya). Atau perzinahan seorang laki-laki yang mempunyai isteri yang sah dengan seorang perempuan  mempunyai suami yang sah dikenakan sanksi vayana /Givuna  :
a)       Santina Bengga/sampomava bengga dalam bahasa Indonesia dua ekor Kerbau,
b)      Sanggayu gandisi (Raposompora Radua) versi ledo dalam bahasa Indonesia kain dari kulit kayu,
c)       Samata Guma (rapo sambale tambolona/tambolora Radua) artinya dalam bahasa Indonesia sebilah parang jenis guma untuk menggorok leher pasangan yang melakukan perzinahan,
d)      Santonga dula (rapotande balenggana /balengara randua) yang artiya dalam bahasa Indonesia sepasang dulang tempat untuk menyimpan kepala,
e)      Santonga tubu mputi (posonggo raana /raara randua) sepasang mangkok putih untuk tempat penyuguhan darah pelaku perzinahan yang disembelih,
f)        Sudakana  (dalam bentuk mata uang Riyal dengan jumlah ganjil antara sebelas (11) sampai dengan Sembilan puluh Sembilan (99).
g)       Pu’u dengan hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah berupa suraya (piring) jika lebih dari 10 mpu’u dilengkapi dengan suraya Mposanga seperti Pinekaso, Tava Kelo dalam pelaksanaan libu dewan adat, jika hal tersebut tidak ada, memungkinkan notovali (Nosambei) dengan piring biasa.
h)      Dalam versi Rai pelaku pelanggaran bagi perempuan disebut Nopangadi.
i)        Versi unde ditambah dengan 140 suraya tambah 15 ekor Kebe (aqiqa: mengeluarkan 1 ekor kambing) semuanya dibagi 2 laki-laki dan perempuan.        

2)      Givuna (Hukuman) di kenakan pada Laki-laki (nebualosi) :
a)       Sampomava Bengga ( satu ekor kerbau), dalam pendekatan Kaili Tara apabila penyebutan hanya kata “Bengga” maka boleh digantikan dengan 5 Ekor Kambi/Tovaou Mporesi (kambing hutan), apabila penyebutan Bengga Navuri Buluna (Kerbau hitam bulunya) adalah dikenakan kerbau sebenarnya.
b)      Santonga dula (rapotande balenggana), Versi Kaili Tara dikenakan Dula Lena biasa.
c)       Santonga tubu mputi (posonggo raana), versi Kaili Tara dikenakan Tubu Posanga seperti Tubu Mata Bengga  dan boleh berbentuk tubu biasa.
d)      Sudakana  (dalam bentuk mata uang Riyal dengan jumlah ganjil antara sebelas (11) sampai dengan Sembilan puluh Sembilan (99). Pada masa kini disesuaikan dengan nilai mata uang   Rupiah.

Catatan : Givu harus dibayar kepada perbendaharaan Negeri (Polisa Nuada:Rai, Sompo Nuada:Ledo) dalam waktu yang ditetapkan oleh pengadilan adat dan apabila Givu tersebut tidak dibayar pada waktunya maka keduanya akan dihukum mati (nilabu) atau Nipanaa (mengingatkan kembali kepada pengadilan adat dengan sanksi Nibeko yaitu dikucilkan dari masyarakat).


Sumber ;
3)      https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kaili (26/04/2016)



Analisis :

Tiap suku di Indonesia mempunyai hokum adatnya masing-masing baik berupa hukum adat yang mempunyai sanksi yang ringan, berat maupun hukuman mati. Hukuman adat ini telah berlaku sejak lama, hingga saat ini, selain adanya hukum pemerintahan.

Unknown

Life is Mystery

0 comments: